Jumaat, 28 Januari 2011

ISLAM VS KEBEBASAN BERAGAMA ? KITA TIDAK MAHU APA YANG TERJADI DI-INDONESIA JUGA AKAN BERLAKU DI- MALAYSIA.



Saudara pembaca Melayu-Islam yang dihormati.

Di-Malaysia ini Alhamdulillah pegangan kita umat Melayu-Islam maseh lagi teguh dan kuat. Secara umum boleh dikatakan sejahat mana pun sasaorang individu Melayu – Islam itu, jika dituduh kafir ..dia akan marah dan mengamuk.

Sejahat mana pun, dia tidak akan sanggup menghina Allah, Nabi Muhammad dan kitab Al-Quran nya.

Jadi bila ada individu Islam yang mengaku Islam sanggup menghina Allah, Nabi Muhammad dan Al-Quran ..kita menganggap mereka mereka itu sebagai musuh yang wajar diperangi. Itulah yang dilakukan oleh orang orang saperti Salman Rushdie dan lain lain.

Kita juga tidak dapat menerima perlakuan perlakuan yang jelas melanggar Syariat Islam saperti orang perempuan menjadi imam dan wali akad nikah saperti yang dilakukan oleh Aminah Wadud .

Dan kita juga tidak menerima pelanggran Hukum Allah yang jelas berkaitan cara hidup didunia ini saperti menerima perkahwinan antara lelaki dengan lelaki ( gay ) dan antara perempuan dengan perempuan ( lesbian ) Tetapi inilah yang dilakukan dan dihalalkan oleh Ketua Muslimah Nahdatul Ulama, MUSDAH MULIA.

Adakah kita RELA apa yang berlaku di-Indonesia juga akan berlaku di negara kita Malaysia ?

Apakah yang berlaku terhadap ISLAM di – Indonesia ?
Siapakah yang melakukannya ?

Ikutilah beberapa siri rencana yang gemasindah petik dari pelbagai sumber.....

Jika saudara sayangkan ISLAM saperti yang biasa kita amalkan selama kini ...MARILAH kita BERSAMA-SAMA MEMBENTERAS GERAKAN PLURALISMA yang diperjuangkan oleh ANUAR IBRAHIM dan para penyokongnya.

RENCANA 1 -

KENAPA GUS DUR ( sebelum meninggal dunia ) MAHU UBAH UNDANG - UNDANG YANG MELINDUNGI AGAMA ISLAM DI-INDONESIA. Bukankah Gus Dur oarang kuat NAHDATUL ULAMA ?.

Uu Nomor 1/pnps/1965 Digugat ( Perlembagaan Indonesia Mahu Diubah Oleh Gus Dur & Jaringan Islam Liberalnya = gemasindah )


DUNIA keagamaan dan hukum di Indonesia kini sedang menghangat, menyusul di-lakukannya permohonan judicial review dari UU Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan itu diajukan oleh 11 (se-belas) Pemohon yang terdiri dari 7 (tujuh) Pemohon LSM ( pertubuhan ? ) yakni Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan 4 (empat) Pemohon persaorangan yakni Abdurahman Wahid, ( Gus Dur ) Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq yang diwakili oleh 56 advokat ( peguam ) dan aktifis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama

Perkara judicial review UU No. 1/PNPS/1965 diregistrasi dengan Nomor 140/PUU-VII/ 2009. Pada Rabu, 27 Januari 2009 Pukul 10.00 WIB dijadwalkan untuk sidang ke tiga untuk mendengarkan keterangan Pemohon / Termohon (DPR/Pemerintah), Saksi Pemohon/ Termohon, atau Saksi Ahli dari Pemohon/Termohon.

Tidak ada batasan untuk jumlah persidangan di Mahkamah Konstitusi. Minimal Sidang dilakukan sebanyak empat kali, namun dalam banyak praktiknya dapat dilakukan lebih dari enam kali (bahkan lebih) hingga para hakim merasa cukup untuk mendapatkan keyakinan memutus perkara (tentunya dengan terlebih dahulu mendengar kedua belah pihak).

Dalam Permohonannya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mencabut keberadaan lima norma dalam UU Penodaan Agama yakni Pasal 1 mengenai larangan untuk menyebarkan agama yang berbeda dengan penafsiran agama yang dianut di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 4a UU Penodaan Agama juga memungkinkan untuk dilakukannya hukuman terhadap orang-orang yang dianggap menyebarkan ajaran menyimpang tersebut dengan hukuman pidana selama 5 tahun.

Menurut Pemohon, klausula dalam 5 norma yang diatur dalam UU Penodaan Agama adalah bentuk dari diskriminasi yang bertentangan dengan pasal-pasal Hak Asasi Manusia (Pasal 1 ayat (3), pasal 27, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28I dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945). Berdasarkan kasus-kasus pe-midanaan dan pelarangan atas Arswendo Atmowiloto, Lia Aminuddin (Lia Eden), Ardi Husain (pembuat buku Menembus Gelap Menuju Terang yang dianggap sesat), Sumardin Tappayya (sholat bersiul), Yusman Roy (Sholat dwi bahasa)

Pemohon menyatakan bahwa hukuman atas keyakinan yang dijatuhkan oleh pengadilan maupun MUI ( Majlis Ulamak Indonesia ) atas sesatnya aliran tersebut adalah bertentangan dengan hak asasi beragama dan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945.

Sejumlah dalil sejarah, filsafat dan hukum dijadikan alasan-alasan permohonan dalam posita. Secara tematik, alasan-alasan yang di-ajukan Pemohon dapat dibagi sebagai berikut:

1. Dalil Historis Islam

a. Bahwa aliran-aliran keagamaan berbeda juga dikenal dalam sejarah Islam. Aliran ini bukan saja menyangkut masalah furuiyyah melainkan juga mengenai ma-salah ushuli. Sehingga dalam Islam pun dikenal antara Sunni (Asy’ariyah dan Maturidiyah), Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dll. serta dikenal pula mazhab dalam Sunni yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Demikian pula dengan aliran-aliran dalam keagamaan lain semisal ordo-ordo dalam agama katolik.

b. Bahwa para ulama dan pemikir Islam pun memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dimaksud sebagai pokok-pokok Islam. Misalnya definisi ajaran pokok Islam oleh Ahmad bin Naqib al-Misri memberikan 9 ajaran pokok Islam sedangkan Abu Bakar al-Jazairi memberikan 5 ajaran pokok Islam yang dihukum berat. Sehingga ada perbedaan tentang apa-apa saja yang men-jadi prinsip pokok dalam sebuah agama.

c. Bahwa pada tahun 763 Masehi Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi serta pengikutnya telah dituduh kafir dan murtad. Abu Hanifah kemudian ditangkap dan dipenjara, disiksa dan diracun hingga meninggal di penjara. Meski demikian, ajaran dan pengikut Mazhab Hanafi tetap hidup dan berkembang.

Bahwa Ahmad bin Hambal (Tahun 241H/ 855), dipenjara dan disiksa karena rezim saat itu mengambil aliran Mu’tazilah se-bagai aliran keagamaan resmi negara, dan dianggap menyimpang dari doktrin Mu’tazilah. Setelah negara mengganti aliran keagamaan resmi, saat itu pula Ahmad bin Hambal dipulihkan dari status penyimpangannya, bahkan diakuai sebagai ulama besar. (Hal 51 Permohonan) d.

Bahwa perbedaan antara NU dan Mu-hammadiyah dalam sejumlah hal ibadah semisal tahlil dan ziarah kubur. Dimana Muhammadiyah menganggap bahwa hal tersebut adalah dosa besar yakni syirik sedangkan bagi NU merupakan sebuah ibadah yang biasa. Demikian pula dengan jumlah sholat taraweh, qunut dan wudhu yang pada praktiknya berbeda-beda.

Melalui dalil-dalil yang dicontohkan melalui sejarah Islam, Pemohon hendak mengatakan bahwa Islam sendiri, dalam menafsirkan me-ngenai Agama Islam, memiliki perbedaan-per-bedaan bukan saja dalam hal-hal yang cabang (furu’iyyah) melainkan juga hal-hal yang pokok (ushuli).

Penerapan otoritas keagamaan dalam Islam, dianggap sangat tergantung pada tafsir-an otoritas yang berkuasa pada masa tersebut sehingga sangat rancu dan relatif. 2. Dalil Filasafat

a. .Relativisme Kebenaran; bahwa apa yang dianggap benar oleh suatu kelompok/aliran belum tentu benar bagi kelompok lain. Sehingga dengan sangat mudah satu kelompok mengklaim kelompok lain menyimpang begitu pun sebaliknya. Padahal agama-agama besar pun memberlakukan silogisme ini; jika Nabi Isa dianggap Tuhan oleh umat Kristen maka ia dianggap me-nyimpang atau sesat oleh Umat Islam yang menganggap Nabi Isa adalah seorang Nabi. Dalam hal ini, tidak ada kebenaran mutlak yang dapat meneguhkan keyakinan seseorang.

b… Bahwa dengan demikian negara tidak boleh membatasi orang untuk melakukan penafsiran dan tidak boleh mengambil tafsir satu kelompok sebagai tafsir resmi negara. Hal ini dikarenakan semua klaim kebenaran dari masing-masing tafsir agama tetap berhak hidup seiring dengan naluri manusia untuk mencari kebenaran sebagai mahluk hidup

c… Bahwa apa yang pada masa lampau benar belum tentu akan terus menjadi sebuah ke-benaran pada masa kini. Misalnya Nabi Muhammad dan Nabi Isa (bagi orang nasrani Yesus) dianggap pemberontak dan terusir karena membawa ajaran agama yang pada masa lampau dianggap sesat dan kini menjadi agama besar di dunia. Galileo dibunuh karena membawa kebenaran yang menyatakan bahwa pusat tata surya adalah matahari yang dianggap bertentangan dengan agama Katolik. Namun pada tahun 1992 gejera Katolik baru mengakui kesalahannya dan membenarkan teori Galileo.

d. ..Bahwa keyakinan beragama memiliki dua dimensi yakni forum internum dan forum eksternum. Forum internum (ruang privat) menyangkut eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu, sementara forum eksternum (ruang publik) menyangkut aspek komunikasi eksistensi spiritual individu tersebut kepada public dan demikian maka baik menyakini maupun membuplikasikan kebenaran atas keyakinan adalah sebuah hak atas kebebasan berpikir dan berpendapat.

Melalui dalil-dalil logika filsafat yang dikemukakan, Pemohon hendak menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Sehingga semua agama yang diyakini dan disebarkan oleh setiap manusia yang menyakini adalah sebuah proses pencarian kebenaran yang juga mengandung kebenaran di kemudian hari. Dalam hal ini, negara tidak diperbolehkan untuk melakukan intervensi penafsiran atas apa yang telah menjadi ke-yakinan dan kepercayaan seseorang.

3. Dalil Hukum

a. Bahwa PNPS, secara historis merupakan sebuah undang-undang yang dibentuk pada keadaan darurat. Hal ini ditujukan untuk membendung aliran-aliran keagamaan tersebut. Dalam penjelasan umumnya di-sebutkan bahwa UU Penodaan Agama ditujukan untuk mengamankan negara dan masyarakat dimana penyalahgunaan atau penodaaan agama dipandang se-bagai ancaman revolusi. Oleh karena dalam kondisi kekinian Indonesia sudah tidak lagi berada pada ancaman darurat sebagaimana mula dibentuknya PNPS ini, maka UU Penodaan Agama dianggap tidak lagi relevan untuk tetap dipertahankan.

b. Bahwa pembatasan tentang penafsiran sebuah agama, dan pelarangan terhadap keyakinan seseorang telah bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia khususnya dalam hal hak asasi untuk beragama. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 27, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28I dan pasal 29 UUD 1945 serta pula bertentangan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Sipil dan Politik serta instrument hukum lainnya.

c. Bahwa batasan mengenai “penodaan”, “penistaan” dan “penyalahgunaan” agama adalah sangat absurd sehingga dapat digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk melakukan kriminalisasi terhadap minoritas beragama lainnya.

d. Bahwa produk dari kebijakan SKB (Surat Keputusan Bersama) antara Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam pelarangan atau pemidanaan seseorang atau kelompok. Hal ini dikarenakan SKB tidak dikenal dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia (dalam hal ini UU Nomor 10 Tahun 2004) sehingga keberadaan SKB sendiri tidak menjamin kepastian hukum di Indonesia.

e. Bahwa pembatasan atas kebebasan ber-agama hanya dapat dilakukan dengan parameter sebagaimana pada Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) ICCPR yakni: hal atas dasar kebencian agama, ras, bangsa yang mengakibatkan hasutan untuk dis-kriminasi, permusuhan dan kekerasan, demi kepentingan keamanan nasional dan kemananan publik, pelindungan kesehatan publik atau moral, perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.

f. Bahwa tidak ada lembaga yang dapat memberikan label sesat maupun tidak sesat karena prinsip-prinsip keberagamaan di Indonesia sendiri memiliki keragaman dan tafsiran yang seharusnya diakomodasi oleh pemerintah.
Melalui argumentasinya diatas, Pemohon hendak menyampaikan bahwa pembatasan melalui UU No 1/PNPS/1965 merupakan bentuk diskriminasi dan kriminalisasi dari kebebasan yang merupakan hak asasi manusia yang dijamin baik dalam Konstitusi Indonesia maupun Deklarasi HAM di dunia.
* * *
Semua akar persoalan ini sebenarnya berakar dari pandangan alam (worldview sekular yang menepiskan nilai-nilai sakralitas dan keagamaan dalam kehidupan.

Agama dipandang sebagai produk budaya yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Konsep Kebebasan dilepaskan dari unsur agama. Manusia me-letakkan dirinya lebih tinggi dari Tuhan dan merasa mampu mengatur kehidupannya tanpa campur tangan Tuhan. Bahkan, Tuhan dianggap membatasi kebebasan manusia. Nilai-nilai kebenaran dan moralitas pun dipandang relatif, sehingga benar dan salah pun menjadi relatif.

Artikel-artikel yang dihimpun dalam buku kecil ini ditulis oleh para cendekiawan Muslim dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), dan hampir seluruhnya telah diterbitkan di Jurnal Islamia Harian Republika.

Artikel-artikel ini memberikan jawaban yang sangat mendasar terhadap ke-keliruan berpikir kaum liberal yang memuja paham kebebasan ala Barat, tanpa memandang nilai-nilai Islam.

Mudah-mudahan artikel-artikel ini dapat memberikan pencerahan / penjelasan bagi sedang mendapatkan amanah memegang ke-kuasaan di bidang hukum dan perundang-peundangan.

Sebab, bagaimana pun, di atas pertanggungjawaban terhadap sesama manusia di dunia ini, yang lebih penting dan lebih tinggi nilainya, adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Setiap Muslim pasti meyakini, bahwa al-Quranul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad saw adalah pedoman hidup utama kaum Muslim.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan